Aggana Sutta merupakan Sutta yang menjelaskan mengenai awal mula proses terjadinya Alam Semesta dan Proses Evolusi dari Makhluk menjadi Manusia
Pada suatu ketika Sang Bhagava
sedang berdiam di Savatthi, di Pubbarama milik Migaramata. Pada waktu itu
Vasettha dan Bharadvaja sedang menjalani latihan kebhikkhuan di antara para
Bhikkhu, berkeinginan untuk menjadi bhikkhu. Kemudian pada malam hari itu, setelah
bangkit dari samadhi-Nya, Sang Bhagava keluar dari kamar (kuti) dan berjalan ke
sana ke mari (cankammana) di alam terbuka di sebelah kamar. Hal ini dilihat
oleh Vasettha dan menceritakannya kepada Bharadvaja, yang selanjutnya ia
berkata: “Sahabat Bharadvaja, marilah kita pergi menemui Sang Bhagava;
mudah-mudahan kita beruntung dapat mendengar uraian Dhamma dari Sang Bhagava.”
Vasettha, terdapat suatu saat,
cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini
hancur. Dan bilamana hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di
Alam Cahaya (Abbassara); di sana
mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki
tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka
hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali. Vasettha, terdapat juga
suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini mulai terbentuk kembali.
Dan ketika hal ini terjadi, mahluk¬mahluk yang mati di Alam Cahaya (Abhassara),
biasanya terlahir kembali di sini (Alam Manusia). Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi
kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya,
melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup
demikian dalam masa yang lama sekali. (AYAT 10)
Pada waktu itu semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam
belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun
musim-musim belum ada; laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk¬mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha,
cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk
tersebut, tanah dengan sarinya muncul ke
luar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan
nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa.
Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tanah itu; sama
seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tanah itu. (AYAT 11)
Kemudian, Vasettha, di antara mahluk mahluk yang memiliki pembawaan
sifat serakah (lolajatiko) berkata: O apakah ini? dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu
keinginan masuk dalam dirinya. Dan mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh
perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari jarinya. Dengan
mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk ke
dalam diri mereka. Maka mahluk-mahluk
itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah
tersebut dengan tangan mereka. Dan
dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu menjadi lenyap. Dengan
lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam, bulan dan
pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah,
Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali. (AYAT 12)
Vasettha, selanjutnya
mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan
berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka
menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang
buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah
memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: Kita lebih indah daripada mereka, mereka
lebih buruk daripada kita. Sementara
mereka bangga akan keindahannya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka sari
tanah itupun lenyap. Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul
bersama-sama dan meratapinya: “Sayang, lezatnya! Sayang lezatnya!” Demikian
pula sekarang ini, apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata: “Oh
lezatnya! Oh lezatnya!; yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah
mengikuti ucapan masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata itu.
(AYAT 13)
Kemudian, Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi mahluk
mahluk itu, muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (Bhumi¬pappatiko). Cara
tumbuhnya adalah seperti tumbuhnya cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, bau
dan rasa; lama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya
tumbuhan itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu.
Kemudian mahluk¬mahluk itu mulai makan
tumbuh-tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut. Mereka menikmati,
mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan
hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh
mereka berkembang menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak
lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena
keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah
mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: Kita lebih indah daripada mereka; mereka lebih buruk daripada kita.
Sementara mereka bangga akan keindahan
dirinya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari
tanah itu pun lenyap. Selanjutnya
tumbuhan menjalar (badalata) muncul dan cara tumbuhnya adalah seperti
bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau dan rasa; sama seperti dadi susu atau
mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu; lama seperti madu tawon
murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. (AYAT
14)
Kemudian, Vasettha, mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuhan
menjalar tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan
tumbuhan menjalar tersebut, dan hal itu berlangsung demikian dalam masa yang
lama sekali. Berdasarkan atas takaran
yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat; dan
perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan
sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini; maka mereka yang memiliki
bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk,
dengan berpikir: Kita lebih indah
daripada mereka; mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan
keindahan dirinya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar
itu pun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu, mereka berkumpul
bersama-sama meratapinya: “Kasihanilah kita, milik kita hilang! Demikian pula
sekarang ini, bilamana orang-orang ditanya apa yang menyusahkannya, mereka
menjawab: “Kasihanilah kita! Apa yang kita miliki telah hilang; yang
sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa
lampau, tanpa mengetahui makna daripada kata-kata itu.” (AYAT 15)
Kemudian, Vasettha, ketika
tumbuhan menjalar lenyap bagi mahluk-mahluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam alam terbuka
(akattha-pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih.
Bilamana pada sore hari mereka
mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu
telah tumbuh den masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan
membawanya untuk makan siang; maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh
dan masak kembali; demikian terus-menerus padi itu muncul. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati
padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan
tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama
sekali. Berdasarkan atas takaran yang
mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan
perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas
kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya
(purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan
laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaan wanita.
Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak,
maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat
adanya nafsu indria tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna). (AYAT 16)
Vasettha, apa yang pada waktu
itu dipandang tidak sopan (adhamma
sammata), sekarang dipandang sopan
(dhamma-sammata). Pada waktu itu, mahluk-mahluk yang melakukan hubungan
kelamin tidak diijinkan memasuki desa atau kota selama satu bulan penuh atau
dua bulan. Dan pada waktu itu, oleh karena mahluk cepat sekali mencela
perbuatan yang tidak sopan tersebut maka mereka mulai membuat rumah-rumah hanya
untuk menyembunyikan perbuatan tidak sopan itu. Vasettha, kemudian timbullah
pikiran semacam ini dalam diri sebagian mahluk yang berwatak pemalas: “Mengapa aku harus melelahkan diriku dengan
mengambil padi pada sore hari untuk makan malam, dan mengambil padi pada pagi
hari untuk makan siang? Bukankah
sebaiknya aku mengambil padi yang cukup untuk makan malam dan makan siang
sekaligus?” Maka, setelah pergi, ia mengumpulkan padi yang cukup untuk dua
kali makan. Ketika mahluk-mahluk lain datang kepadanya dan berkata: “Sahabat yang baik, marilah kita pergi
mengumpulkan padi” ia berkata: Tidak
perlu, sahabat yang baik; aku telah mengambil padi untuk makan malam dan siang.”
Selanjutnya sebagian mahluk lain datang dan berkata kepadanya: “Sahabat yang baik, marilah kita pergi
mengumpulkan padi”; ia berkata: “Tidak
perlu, sahabat yang baik, aku telah mengambil padi untuk dua hari.”
Demikianlah, dalam cara yang sama mereka menyimpan padi yang cukup untuk empat
hari dan selanjutnya untuk delapan hari. Vasettha, sejak itu mahluk-mahluk tersebut mulai makan padi yang disimpan. Dedak mulai menutupi butir-butir padi yang
dan butir-butir padi dibungkus sekam. Padi yang telah dituai atau
potongan-potongan batangnya tidak tumbuh kembali, sehingga terjadi masa
menunggu. Dan batang-batang padi mulai tumbuh serumpun. (AYAT 17)