Selasa, 29 Januari 2013

Petikan Aggana Sutta (Alam Semesta dan Evolusi)



Aggana Sutta merupakan Sutta yang menjelaskan mengenai awal mula proses terjadinya Alam Semesta dan Proses Evolusi dari Makhluk menjadi Manusia



Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Savatthi, di Pubbarama milik Migaramata. Pada waktu itu Vasettha dan Bharadvaja sedang menjalani latihan kebhikkhuan di antara para Bhikkhu, berkeinginan untuk menjadi bhikkhu. Kemudian pada malam hari itu, setelah bangkit dari samadhi-Nya, Sang Bhagava keluar dari kamar (kuti) dan berjalan ke sana ke mari (cankammana) di alam terbuka di sebelah kamar. Hal ini dilihat oleh Vasettha dan menceritakannya kepada Bharadvaja, yang selanjutnya ia berkata: “Sahabat Bharadvaja, marilah kita pergi menemui Sang Bhagava; mudah-mudahan kita beruntung dapat mendengar uraian Dhamma dari Sang Bhagava.”


Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan bilamana hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Alam Cahaya (Abbassara); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali. Vasettha, terdapat juga suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini mulai terbentuk kembali. Dan ketika hal ini terjadi, mahluk¬mahluk yang mati di Alam Cahaya (Abhassara), biasanya terlahir kembali di sini (Alam Manusia). Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. (AYAT 10)


Pada waktu itu semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun musim-musim belum ada; laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk¬mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul ke luar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tanah itu. (AYAT 11)


Kemudian, Vasettha, di antara mahluk mahluk yang memiliki pembawaan sifat serakah (lolajatiko) berkata: O apakah ini? dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Dan mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari jarinya. Dengan mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk ke dalam diri mereka. Maka mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu menjadi lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali. (AYAT 12)


Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan keindahannya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah itupun lenyap. Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya: “Sayang, lezatnya! Sayang lezatnya!” Demikian pula sekarang ini, apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata: “Oh lezatnya! Oh lezatnya!; yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata itu. (AYAT 13)


Kemudian, Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi mahluk mahluk itu, muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (Bhumi¬pappatiko). Cara tumbuhnya adalah seperti tumbuhnya cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, bau dan rasa; lama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. Kemudian mahluk¬mahluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka berkembang menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: Kita lebih indah daripada mereka; mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan keindahan dirinya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul dan cara tumbuhnya adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau dan rasa; sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu; lama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. (AYAT 14)


Kemudian, Vasettha, mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar tersebut, dan hal itu berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini; maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: Kita lebih indah daripada mereka; mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan keindahan dirinya sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu, mereka berkumpul bersama-sama meratapinya: “Kasihanilah kita, milik kita hilang! Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang ditanya apa yang menyusahkannya, mereka menjawab: “Kasihanilah kita! Apa yang kita miliki telah hilang; yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa lampau, tanpa mengetahui makna daripada kata-kata itu.” (AYAT 15)


Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap bagi mahluk-mahluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam alam terbuka (akattha-pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh den masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang; maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali; demikian terus-menerus padi itu muncul. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indria tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna). (AYAT 16)


Vasettha, apa yang pada waktu itu dipandang tidak sopan (adhamma sammata), sekarang dipandang sopan (dhamma-sammata). Pada waktu itu, mahluk-mahluk yang melakukan hubungan kelamin tidak diijinkan memasuki desa atau kota selama satu bulan penuh atau dua bulan. Dan pada waktu itu, oleh karena mahluk cepat sekali mencela perbuatan yang tidak sopan tersebut maka mereka mulai membuat rumah-rumah hanya untuk menyembunyikan perbuatan tidak sopan itu. Vasettha, kemudian timbullah pikiran semacam ini dalam diri sebagian mahluk yang berwatak pemalas: “Mengapa aku harus melelahkan diriku dengan mengambil padi pada sore hari untuk makan malam, dan mengambil padi pada pagi hari untuk makan siang? Bukankah sebaiknya aku mengambil padi yang cukup untuk makan malam dan makan siang sekaligus?” Maka, setelah pergi, ia mengumpulkan padi yang cukup untuk dua kali makan. Ketika mahluk-mahluk lain datang kepadanya dan berkata: “Sahabat yang baik, marilah kita pergi mengumpulkan padi” ia berkata: Tidak perlu, sahabat yang baik; aku telah mengambil padi untuk makan malam dan siang.” Selanjutnya sebagian mahluk lain datang dan berkata kepadanya: “Sahabat yang baik, marilah kita pergi mengumpulkan padi”; ia berkata: “Tidak perlu, sahabat yang baik, aku telah mengambil padi untuk dua hari.” Demikianlah, dalam cara yang sama mereka menyimpan padi yang cukup untuk empat hari dan selanjutnya untuk delapan hari. Vasettha, sejak itu mahluk-mahluk tersebut mulai makan padi yang disimpan. Dedak mulai menutupi butir-butir padi yang dan butir-butir padi dibungkus sekam. Padi yang telah dituai atau potongan-potongan batangnya tidak tumbuh kembali, sehingga terjadi masa menunggu. Dan batang-batang padi mulai tumbuh serumpun. (AYAT 17)


Nidhikanda Sutta (Timbunan Harta Terbaik)



Walaupun harta seseorang ditimbun dalam-dalam di dasar sumur, dengan tujuan: bila suatu saat diperlukan untuk pertolongan, harta yang disimpan itu dapat digunakannya. Atau ia berpikir; "Untuk membebaskan diri dari kemarahan raja, atau untuk uang tebusan bila aku ditahan sebagai sandera, atau untuk melunasi hutang-hutang bila keadaan sulit, atau mengalami musibah".

Inilah alasan-alasan seseorang untuk menimbun harta. Meskipun hartanya ditimbun dalam-dalam di dasar sumur, sama sekali tidak akan mencukupi semua kebutuhannya untuk selama-lamanya.

Jika timbunan harta itu berpindah tempat, atau ia lupa dengan tanda-tandanya, atau bila "Naga-Naga" mengambilnya, atau Yakkha-Yakkha mencurinya. Mungkin juga timbunan itu dicuri oleh sanak keluarga, atau ia tidak menjaganya dengan baik, atau bila BUAH KARMA BAIKnya telah habis, semua hartanyapun akan lenyap.

Gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah timbunan "Harta" yang terbaik, bagi seorang wanita maupun pria. "Harta" tersebut dapat diperoleh dengan berbuat kebajikan, kepada cetiya-cetiya atau Sangha, kepada orang lain atau para tamu, kepada Ibu dan Ayah, atau kepada orang yang lebih tua.

Inilah "Harta" yang disimpan paling sempurna, tidak mungkin hilang, tidak mungkin ditinggalkan, walaupun suatu saat akan meninggal, ia tetap akan membawanya. Tak seorangpun yang dapat mengambil "Harta" itu, perampok-perampokpun tidak dapat merampasnya. Oleh karena itu, lakukanlah perbuatan-perbuatan bajik karena inilah "Harta" yang paling baik.

Inilah "Harta" yang sangat memuaskan, yang diinginkan para dewa dan manusia, dengan buah kebajikan yang ditimbunnya, apa yang diinginkan akan tercapai. Wajah cantik dan suara merdu, kemolekan dan kejelitaan, kekuasaan dan pengikut, semua diperoleh berkat buah kebajikan itu. Kedaulatan dan kekuasaan kerajaan besar, kebahagiaan seorang raja Cakkavati (Penguasa Dunia), atau kekuasaan dewa di alam surga, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

Setiap kejayaan manusia, setiap kebahagiaan surga, bahkan kesempurnaan Nibbana, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu. Memiliki sahabat-sahabat sejati, memiliki kebijaksanaan dan mencapai pembebasan, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

Memiliki pengetahuan untuk mencapai pembebasan, mencapai kesempurnaan sebagai seorang siswa, menjadi Pacceka Buddha atau Sammasambuddha, semuanya diperoleh berkat buah kebajikan itu.

Demikian besar hasil yang diperoleh dari buah kebajikan itu, oleh karenanya orang Bijaksana selalu bertekad untuk menimbun "Harta" kebajikan.

Senin, 28 Januari 2013

Kalama Sutta (Penyelidikan Kebenaran)



Khotbah ini disampaikan sehubungan dengan Penyelidikan Kebenaran

Suatu ketika Yang Dirahmati (Sang Buddha) mengembara di negara Kosala dengan rombongan besar bhikkhu dan memasuki kota Kesaputta. Suku Kalama, yang menjadi penduduk kota Kesaputta mendengar bahwa Pertapa Gotama, seorang putra dari suku Sakya yang pergi bertapa, sekarang telah tiba di Kesaputta. Berita yang tersiar luas tentang Pertapa Gotama yang sekarang menjadi Buddha, mengatakan:

"Beliau adalah Arahat, Yang memperoleh Penerangan Agung, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dirahmati. Beliau memberitahukan dunia ini, bersama-sama dengan alam para dewa, mara, dan brahma, disertai para pertapa, brahmana, para dewa, dan manusia, sesuatu yang Beliau sendiri telah mengerti melalui pengetahuan yang luar biasa. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, baik dalam teori maupun dalam pelaksanaannya. Secara sempurna Beliau menerangkan tentang penghidupan suci yang benar-benar bersih. Sungguh berharga sekali dapat melihat Arahat tersebut!"

Karena itu, maka suku Kalama dari Kesaputta datang mengunjungi Sang Buddha. Tiba di sana, ada yang memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan kemudian duduk di satu sisi; ada juga yang memberi hormat dengan berlutut, ada yang memberi hormat hanya dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang memberitahukan nama dan nama keluarganya; dan ada juga yang terus duduk tanpa mengucapkan kata apapun.

Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, "Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa dan brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci-maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-ragu dan bingung, siapa diantara para pertapa dan brahmana yang berbicara benar dan siapa yang berdusta."

"Benar, warga suku Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu, sudah sewajarnyalah kamu bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut."

"Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."

"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."

"Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."

"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencian dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."

"Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (moha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."

"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin dicengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."

"Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut baik atau tidak baik?"
"Tidak baik, Yang Mulia."

"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?"
"Tercela, Yang Mulia."

"Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?"
"Tidak dibenarkan, Yang Mulia."

"Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?"
"Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat kami."

"Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.''

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,' maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut."

"Kesimpulannya, warga suku Kalama, 'Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.' Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

"Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengkeram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."

"Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram oleh kebencian….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."

"Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dicengkeram oleh kegelapan batin….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."

"Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan?"
"Menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?"
"Tidak tercela, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?"
"Dibenarkan, Yang Mulia."
"Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?"
"Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami."

"Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Janganlah percaya begitu saja….., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.' Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut."

"Sekarang, warga suku Kalama, seorang siswa Yang Ariya telah terbebas dari keserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung tetapi dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan pikirannya terpusat, sedangkan batinnya dipenuhi oleh kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan; orang itu diumpamakan seperti diam di seperempat alam, kemudian di setengah alam, kemudian di tiga per empat alam dan akhirnya di seluruh alam. Dan dengan cara yang sama ke atas, ke bawah, ke samping, ke segenap penjuru, kepada semua makhluk, ia diam dengan batin penuh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segenap penjuru alam, berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan.

Siswa yang demikian itu, yang hatinya terbebas dari permusuhan, terbebas dari perasaan tertekan, tidak ternoda dan bersih, orang itu dalam kehidupan ini juga akan memperoleh berkah yang menyenangkan, yaitu:
Kalau sekiranya ada alam lain setelah meninggal dunia, ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; saat badan jasmaninya hancur setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam surga. Ini adalah berkah pertama yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada alam lain setelah meninggal dunia, tidak ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; namun kehidupan ini ia telah terbebas dari perasaan bermusuhan dan tertekan. Ini adalah berkah kedua yang diperolehnya. Kalau sekiranya bencana menimpa yang berbuat jahat; namun aku sama sekali tidak bermaksud berbuat jahat terhadap siapa pun juga. Mana mungkin bencana dapat menimpa diriku yang tidak berbuat jahat? Ini adalah berkah ketiga yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada bencana menimpa yang berbuat jahat, maka aku tahu bahwa diriku bersih dari kedua segi. Ini adalah berkah keempat yang diperolehnya.

Dengan demikian, warga suku Kalama, siswa Ariya tersebut yang hatinya terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan, tak ternoda dan bersih, maka dalam kehidupan ini memperoleh empat berkah."

"Memang demikianlah halnya, Yang Dirahmati. Memang demikianlah, Yang Terbahagia. Siswa Ariya tersebut dalam kehidupan ini akan memperoleh empat berkah (dengan mengulang apa yang diucapkan Sang Buddha).
Sungguh indah, Yang Mulia! Dengan ini kami menyatakan kami berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Yang Mulia berkenan menerima kami sebagai upasaka dan upasika, mulai hari ini sampai seumur hidup kami."

Kevaddha Sutta (Mukjizat Yang Terbaik)


Sehubungan dengan Pengertian Mukjizat menurut Ajaran Buddha
Oleh: Corneles Wowor




Khotbah ini dibabarkan Sang Buddha ketika beliau berada di Pavarikambavana, Nalanda. Khotbah ini dibabarkan berkenaan dengan permohonan dari Upasaka Kevaddha. Permohonan Upasaka Kevaddha itu adalah sebagai berikut:

“Kota Nalanda sangat makmur dan berpengaruh, banyak penduduk yang menjadi pengikut Sang Bhagava. Baik sekali bilamana Sang Bhagava memberikan perintah kepada beberapa bhikkhu untuk mempertunjukan kekuatan batin yang melebihi kemampuan manusia biasa. Maka keyakinan kami kepada Sang Bhagava akan lebih bertambah”

Sang Buddha menjawab: “Kevaddha, tetapi bukan dengan cara begitu saya mengajar para bhikkhu, agar mereka mempertunjukkan kekuatan batin bagi para umat awam.”

Sampai tiga kali Kevaddha memohon demikian, akhirnya Sang Buddha berkata: “Ada tiga macam keajaiban (patihariya), yaitu: ‘keajaiban mengesankan (iddhi patihariya), keajaiban membaca-pikiran orang lain (adesana patihariya) dan keajaiban ajaran (anusasana patihari).

Keajaiban mengesankan (iddhi patihariya) adalah kemampuan untuk merubah diri dari seorang menjadi banyak; dari banyak orang menjadi seorang saja; menghilangkan diri atau sebaliknya: berjalan menembus dinding, benteng atau gunung tanpa ada hambatan; ia menyelam dalam tanah; berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah; dengan duduk bersila ia melayang di angkasa; menyentuh bulan dan matahari dengan tangannya; dengan tubuhnya ia dapat mengunjungi alam dewa brahma, dst..”

Keajaiban membaca pikiran (adesana patihariya) adalah kemampuan untuk mengetahui pikiran dan perasaan orang lain dengan mengatakan: “Orang itu berpikir begini atau begitu, ia berperasaan senang atau tidak senang, dan seterusnya…”

Dua keajaiban ini akan membuat orang yang yakin akan bertambah yakin, namun orang yang tak yakin kepada Sang Bhagava akan mengatakan bahwa ada mantra Gandhara dan mantra Kintamanivijja untuk melakukan itu.

“Kevaddha, karena saya melihat bahaya dari melakukan kekuatan batin ini, maka saya enggan dan malu untuk mempertontonkannya.”

Apakah keajaiban ajaran (anusasana patihariya) itu?

Apabila seseorang mengajarkan agar berpikir ini, jangan berpikir begitu. Pertimbangkanlah hal ini, dan jangan begitu. Latihlah dan kembangkankah dirimu, lenyapkanlah kekotoran batin dan seterusnya. Selanjutnya, bilamana di dunia ini muncul seorang Tathagata yang mengajarkan dhamma kebenaran yang dimulai dengan melakukan Cula Sila, Majjima Sila, Mahasila, melaksanakan meditasi hingga mencapai Jhana I sampai dengan Jhana IV, mengembangkan kebijaksanaan hingga melenyapkan semua kekotoran batin, menjadi arahat.

(uraian rinci seperti yang diuraikan dalam Brahmajala Sutta dan Sammannaphala Sutta).

Inilah keajaiban yang telah saya mengerti dan realisasikan serta telah Saya ajarkan kepada orang lain. Di akhir dari khotbah, Upasaka Kevaddha menjadi senang dan gembira.

Kamis, 10 Januari 2013

Manfaat Membaca Paritta

oleh: Wiryadharma


Paritta berasal dari Bahasa Pali, artinya perlindungan. Paritta diambil dari kutipan-kutipan yang terdapat di Sutta Pitaka, yang merupakan bagian dari Kitab Suci Ti Pitaka.

Dengan membaca paritta, kita telah turut serta dalam mengulang kembali sabda-sabda kebenaran dari Buddha Gautama, dan ini berarti kita telah menanam (mengkondisikan) perbuatan baik melalui: pikiran, ucapan, dan perbuatan.


ARADHANA PARITTA

Untuk menolak Malapetaka
Untuk memperoleh segala Rezeki
Untuk melenyapkan semua Derita
Sudilah Membacakan Paritta Keberkahan

Untuk menolak Malapetaka
Untuk memperoleh segala Rezeki
Untuk melenyapkan Rasa Takut
Sudilah Membacakan Paritta Keberkahan

Untuk menolak Malapetaka
Untuk memperoleh segala Rezeki
Untuk melenyapkan semua Penyakit
Sudilah Membacakan Paritta Keberkahan


Demikianlah, karena Paritta mengandung pernyataan kebenaran, maka Paritta dapat membuahkan hasil baik bagi si Pembaca, yaitu Rezeki dan Perlindungan.

Ketika membaca paritta hendaknya diawali dengan mengundang Para Dewa dan Dewi (Aradhana Devata) dari berbagai alam semesta, dilanjutkan dengan pembacaan paritta berikutnya sesuai dengan kebutuhan. Mengapa harus mengundang Para Dewa dan Dewi? Meski hidup di alam Kebahagiaan, Para Dewa dan Dewi juga membutuhkan bimbingan (ajaran) agar kebahagiaan yang diperoleh menjadi lebih bermakna.  Para Dewa dan Dewi yang datang, akan bersama-sama mendengarkan kotbah-kotbah Buddha Gautama melalui pembacaan paritta yang Anda lakukan dan pembacaan paritta diakhiri dengan penyaluran jasa-jasa kebajikan (Ettavata).

Katannu-Katavedi, tahu membalas budi pengertian ini tidak hanya dipahami oleh manusia, melainkan Para Dewa dan Dewi pun memahami hal ini. Pembacaan Paritta yang telah Anda lakukan, dan undangan yang ditunjukan kepada Para Dewa dan Dewi, membuat Para Dewa dan Dewi merasa bahagia dan melakukan ungkapan terimakasih kepada Anda dalam bentuk perlindungan. Maka itu, tepat dikatakan Paritta membawa Perlindungan dan Kebahagiaan bagi si Pembaca. 

Jadi, bacalah paritta setiap hari, bangun pagi dan sebelum tidur.

Jumat, 04 Januari 2013

Aplikasi Hukum Perbuatan

by Ajahn Brahm


Kebanyakan orang salah mengerti tentang hukum karma. Mereka beranggapan bahwa hukum karma adalah fatalisme (doktrin yang beranggapan bahwa semua sudah ditentukan oleh takdir dan tak bisa dirubah), dimana seseorang ditakdirkan untuk menderita atas kejahatan yang tak diketahui pada kehidupan lampau yang telah terlupakan. Itu tidaklah benar, seperti yang akan diceritakan berikut ini.


Dua orang wanita membuat kue.
Wanita pertama memiliki bahan-bahan yang menyedihkan. Tepung putih tua yang sudah berlumut, sehingga gumpalan-gumpalan hijaunya harus dibuangi terlebih dahulu. Mentega yang diperkaya kolesterol yang sudah agak masam. Dia harus menyisihkan bongkahan-bongkahan berwarna coklat dari gula pasirnya (karena seseorang memakai sendok bekas mengaduk kopi) dan satu-satunya buah yang dipakainya adalah kismis purba, sekeras uranium bekas. Dan dapurnya bergaya “Ĺ“pra-perang dunia”. Adapun mengenai perang dunia yang mana masih perlu diselidiki lebih lanjut.

Wanita kedua memiliki bahan-bahan terbaik. Tepung whole-wheat hasil cocok tanam organik, dijamin bukan hasil rekayasa genetik. Dia mempunyai margarine bebas kolesterol, gula pasir dan buah-buahan segar langsung dari kebun sendiri. Dan dapurnya adalah dapur paling mutakhir, dengan segala peralatan super modern.


Wanita yang manakah yang membuat kue yang paling enak?
Seringkali bukan orang yang memiliki bahan-bahan terbaik yang bisa membuat kue terbaik, namun ini merupakan masalah ketrampilan membikin kue daripada sekadar bahan-bahannya. Kadang-kadang orang dengan bahan-bahan yang menyedihkan mengerahkan segala usaha, perhatian dan cintanya untuk memanggang kuenya sehingga menghasilkan kue yang lezat. Itulah yang kita lakukan dengan bahan-bahan yang ada.

Saya mempunyai beberapa teman yang memiliki “bahan-bahan” yang menyedihkan dalam hidupnya: mereka lahir dalam kemiskinan, korban kekerasan terhadap anak, tidak pintar di sekolah, mungkin cacat dan tidak atletis. Tapi beberapa karakteristik yang dimilikinya “dipanggang” dengan begitu baik, sehingga menghasilkan kue yang begitu mengagumkan. Saya sangat mengagumi mereka. Dapatkah anda mengenali orang-orang seperti itu?

Saya juga mempunyai beberapa teman yang memiliki bahan-bahan terbaik untuk mengisi hidup mereka. Keluarga yang berkecukupan dan saling mencinta, mereka cerdas di sekolahan, berbakat dalam olahraga, berpenampilan menarik dan popular, namun mereka menyia-nyiakan masa mudanya dengan obat-obatan terlarang atau alkohol. Dapatkah anda mengenali orang-orang seperti itu?

Renungan:
Setengah dari karma adalah bahan-bahan yang kita miliki. Setengah sisanya, bagian yang paling menentukan, adalah apa yang kita lakukan dengan bahan-bahan tersebut dalam hidup ini.