Oleh : Bhikkhu Saccadhammo
Apabila seseorang ingin hidup bahagia dan memperoleh kesenangan dengan tidak menyiksa makhluk lain, yang juga mendambakan kebahagiaan; maka dalam kelahiran berikutnya ia akan memperoleh kebahagiaan
(Dhammapada X:1)
Apabila seseorang ingin hidup bahagia dan memperoleh kesenangan dengan tidak menyiksa makhluk lain, yang juga mendambakan kebahagiaan; maka dalam kelahiran berikutnya ia akan memperoleh kebahagiaan
(Dhammapada X:1)
Alkisah, suatu ketika seorang pendeta melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan angkutan umum. Di tengah jalan, ada seorang wanita muda yang lengkap dengan pakaian mininya menyetop angkutan tersebut dan duduk persis di samping pendeta. Doa pertama dari pendeta tadi adalah, "Tuhan jauhkanlah hamba dari segala godaan."
Di sebuah tikungan tajam dan berbatu, angkutan umum itu bergoyang-goyang sehingga membuat sang gadis tadi ketakutan. Sebagai akibatnya, badan wanita tadi menyentuh badan sang pendeta. Kali ini, pendeta pun berdoa," Tuhan, kuatkanlah iman hambamu." Beberapa saat kemudian, jalan yang amat rusak membuat bis melompat-lompat secara amat menakutkan. Begitu menakutkannya sampai-sampai membuat sang gadis memeluk sang pendeta seerat-eratnya. Kali inipun sang pendeta berdoa lagi, "Tuhan, terjadilah apa yang menjadi kehendak-Mu."
Nafsu keinginan
Nafsu keinginan telah lama menjadi komando yang amat mengerikan dalam kehidupan manusia. Dikatakan komando mengerikan karena nafsu keinginan hanya memiliki daya untuk merusak. Agar keinginannya tercapai, ia tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang jahat. Bila ada yang menghalang-halangi nafsunya, ia pun akan menempuh cara-cara yang kotor untuk melemahkan, bahkan bila perlu menghancurkan pihak-pihak yang menghalanginya. Kehadirannya terus-menerus meminta korban.
Akar dari semua sikap mental ini adalah ketidaktahuan (moha) dan pengetahuan yang salah (avijja). Sikap mental ini kemudian melahirkan egoisme. Bila egoisme telah menguasai batin manusia, nafsu keinginan akan mendominasi pikirannya. Bila ini yang terjadi manusia akan menjadi budak keinginannya. Seorang akan terjangkit keinginan untuk terus berkuasa untuk terus-menerus menjadi pemimpin, dan lain-lain. Dalam tataran yang lebih luas, manusia tidak lagi sekedar mengusahakan apa yang dibutuhkan untuk kebahagiaan hidupnya, tetapi malah terjebak dalam usaha untuk terus-menerus memenuhi apa yang diinginkannya. Padahal kita tahu bahwa keinginan manusia tidak ada batasnya.
lbarat kereta kuda
Kalau boleh dianalogikan, kehidupan manusia yang dikomando nafsu keinginan mirip dengan sebuah kereta yang ditarik oleh enam kuda yang bernama indra-indra. Ditarik oleh kuda liar yang bernama mata, kuda liar yang bernama telinga, hidung, mulut, kulit, dan pikiran. Ada banyak orang yang membiarkan dirinya ditarik secara amat liar oleh mata, telinga, hidung, rasa, kulit dan pikiran.
Begitu melihat benda bagus, timbul nafsu keinginan untuk memilikinya. Ketika telinga mendengar berita buruk, reaksi buruk pun langsung bermunculan. Tatkala bertemu makanan enak, mulutpun minta dipuaskan. Kehidupan demikian amat mirip dengan kereta yang ditarik oleh enam kuda liar, berjalan amat cepat tetapi tanpa diimbangi dengan kusir yang pandai. Akhirnya, jadilah kehidupan manusia laksana sebuah kereta yang lari ke sana kemari tanpa tujuan. Alih-alih sampai ke tempat tujuan, malah akan jatuh ke dalam jurang.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita belajar menjadi kusir untuk menjinakkan keenam kuda liar ini. Bukankah kereta kehidupan kita akan mencapai tujuan bila kita dapat menjadi kusir yang piawai mengendalikan kuda-kuda liar tersebut?
Mengendalikan diri
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mata, telinga, hidung, mulut, kulit dan pikiran. Indera-lndera ini hanyalah instrumen yang netral. Demikian juga tidak ada yang salah dengan kuda-kuda tersebut. Bila bisa dikendalikan, justru akan menjadi sahabat yang bermanfaat. Tidak ada yang salah juga dengan militer, sejauh itu tidak digunakan untuk kepentingan yang kotor. Jadi, semuanya tergantung bagaimana kita menggunakannya. Bila indera-indera ini digunakan untuk sesuatu yang baik maka akan mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, bila indera-indera ini digunakan secara salah maka akan mendatangkan kegelisahan dan penderitaan. Demikian juga, bila kuda-kuda liar itu bisa dijinakkan dan dikendalikan maka akan membawa kita ke tempat tujuan. Sebaliknya, bila kita tidak sanggup menjadi kusir yang pandai maka kuda-kuda tersebut akan menyeret kita ke dalam jurang.
Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk mengendalikan keinginan. Bagaimana cara mengendalikan keinginan? Tidak ada jalan lain selain latihan. Dalam konteks ini latihan adalah berpuasa. Berpuasa itu tidak lain adalah latihan pengendalian diri.
Makna puasa
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Buddhis terdiri dari para rohaniawan (Pabbajjita) dan para perumah tangga/ umat awam (Gharavasa). Para rohaniawan mendisiplinkan kehidupannya dengan menjalankan 227 tata tertib. Sedangkan para perumah tangga/ umat awam mendisiplinkan hidupnya dengan menjalankan tata tertib (Pancasila).
Sesuai tekad yang sudah diambil, para rohaniawan akan menjalankan 227 tata tertib selama hidupnya. Dengan kata lain, para rohaniawan akan berpuasa selama hidupnya. Sementara umat awam yang menjalankan lima sila, pada saat-saat tertentu dianjurkan untuk melakukan latihan spiritual yang lebih tinggi (puasa) dengan menjalankan delapan sila (Atthasila).
Secara tradisi para perumah tangga/ umat awam akan menjalankan latihan puasa (Atthasila) pada bulan gelap dan terang (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan kalender buddhis). Di beberapa tempat, para perumah tangga/ umat awam juga menjalankan latihan ini pada tanggal 8 dan 23 (penanggalan bulan kalender buddhis). Disebutkan juga bahwa umat Buddha yang menjalankan latihan atthasila berarti sedang menjalankan uposatha, dan uposatha sering disinonimkan dengan kata upavasa.
Secara tradisi para perumah tangga/ umat awam akan menjalankan latihan puasa (Atthasila) pada bulan gelap dan terang (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan kalender buddhis). Di beberapa tempat, para perumah tangga/ umat awam juga menjalankan latihan ini pada tanggal 8 dan 23 (penanggalan bulan kalender buddhis). Disebutkan juga bahwa umat Buddha yang menjalankan latihan atthasila berarti sedang menjalankan uposatha, dan uposatha sering disinonimkan dengan kata upavasa.
Menilik kata puasa, banyak ahli bahasa memang menyatakan bahwa "puasa" berasal dari kata upavasa (bahasa Pali). Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia pernah memeluk agama Buddha, dan menjadikannya sebagai agama negara (zaman Mataram Syailendra dan Majapahit) sehingga tidak bisa diragukan lagi bahwa kata puasa berasal dari kata upavasa. Sebagai contoh kita bisa menemukan banyaknya bahasa Pali atau Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya: suriya menjadi surya, vanita menjadi wanita, dighayu menjadi dirgahayu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Memang, kata puasa belakangan secara formal sudah digunakan oleh umat lslam ketika menjalankan ibadah di bulan ramadhan. Tetapi disebutkan juga bahwa kata puasa tidak ditemukan dalam kitab suci umat lslam. Yang ada dalam kitab suci umat lslam hanya kata saung, tentu pengertiannya mirip dengan kata puasa.
Masalahnya, istilah puasa dalam pengertian umum kita, diterjemahkan lebih sempit dibandingkan istilah upavasa (uposatha). Kata upavasa atau uposatha (dalam kamus bahasa Pali) memiliki arti lebih luas yaitu menghindari nafsu duniawi. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah puasa memiliki arti yang lebih sempit yakni menghindari makan, minum dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaaan).
Adapun upavasa (uposatha atthasila) yang dijalankan oleh umat Buddha adalah:
- Bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
- Bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.
- Bertekad akan melatih diri menghindari berhubungan seks/asusila.
- Bertekad akan melatih diri menghindari berbicara atau berucap yang tidak benar.
- Bertekad akan melatih diri menghindari segala makanan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran.
- Bertekad akan melatih diri menghindari makan setelah tengah hari.
- Bertekad akan melatih diri menghindari menyanyi, menari, bermain musik, pergi melihat hiburan, memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, serta alat- alat kosmetik yang bertujuan untuk memperindah/ mempercantik diri.
- Bertekad akan melatih diri menghindari pemakaian tempat tidur dan tempat duduk yang mewah.
Kesimpulan
Bagaimanapun sulitnya, kita sama-sama memiliki kewajiban untuk mengendalikan diri (berpuasa). Bagi perumah tangga, tentu sangat berguna bila sungguh-sungguh mengendalikan diri dengan latihan uposatha atthasila. Mungkin saja, kita belum benar-benar mampu membebaskan batin kita dari nafsu keinginan. Tetapi dengan mengendalikan diri (menjalankan puasa) berarti kita sudah melemahkan nafsu keinginan.
Contoh sederhana saja, kita bisa memulai dari sektor makanan. Kita mengendalikan kuda liar yang bernama mulut (indera perasa) dengan makan secukupnya (sesuai dengan latihan atthasila). Seleksi jenisnya. Pengalaman para bijaksana bertutur, ketika nafsu keinginan dikendalikan (berpuasa) banyak persoalan kehidupan kita akan berkurang. Setidaknya, dengan memulai dari sektor makanan, kita telah memilih cara hidup yang sehat. Tidak hanya fisik kita yang sehat, batinpun akan lebih sehat dari penyakit keserakahan dan ketamakan. Lebih jauh lagi kita mengendalikan indera-indera yang lain. Singkatnya, ketika kita sudah melatih diri dengan mengendalikan indera-indera kita, pada saat yang sama kita telah berusaha untuk lepas dari cengkaraman komando nafsu keinginan.