Jumat, 10 Mei 2013

Relik (Relic) atau Saririka Dhatu menurut Buddhisme

YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera




Benda apa yang biasanya disebut Relik?
Istilah 'Relik' dalam Kamus Populer Kontemporer susunan Yose Rizal SM dan David Sahrani, SE diterangkan sebagai barang yang dianggap suci karena bekas peninggalan orang-orang keramat, nabi-nabi atau orang-orang suci lainnya. Sedangkan dalam istilah Buddhis, sesungguhnya relik disebut sebagai Saririka Dhatu, yaitu dapat diartikan sebagai 'sisa jasmani'.


Sering Dikatakan bahwa relik dapat bertambah besar atau bertambah banyak, apakah relik itu benda hidup?
Relik bukanlah benda hidup, karena dalam pengertian Buddhis, benda hidup adalah benda yang membutuhkan makanan dan cuaca yang ideal untuk menunjang kehidupannya. Sedangkan relik sama sekali tidak memerlukan keduanya. Relik bisa bertambah besar maupun kecil, bertambah banyak maupun berkurang adalah karena proses alam biasa seperti yang terjadi pada mutiara.


Apakah relik hanya dimiliki oleh umat Buddha saja?
Tidak hanya umat Buddha saja yang mempunyai relik. Oleh karena itu, dari definisi dalam Kamus Kontemporer di atas, dapat difahami bahwa relik bisa ditemukan di mana saja, termasuk di agama lain.


Bagaimana kita harus menghormati relik?
Seorang umat Buddha bisa meletakkan relik di altar/cetiya, di dekat Buddha rupang. Biasanya disusun di bawah Buddha rupang. Sehingga sewaktu mengadakan puja bakti, seseorang secara otomatis akan menghormat relik tersebut. Dalam masyarakat juga beredar 'Paritta Relik' yang kemudian dibaca pada saat mengadakan puja bakti di altar/cetiya, namun, perlu diketahui bahwa paritta itu bukan berasal dari sabda Sang Buddha sendiri, melainkan hanya merupakan produk tradisi suatu negara Buddhis tertentu.

Oleh karena itu, apabila memiliki relik, tidak ada keharusan untuk membaca 'Paritta Relik' di depannya. Kalau seseorang tidak memiliki altar/ cetiya, letakkanlah relik di tempat yang terhormat. Karena bagaimanapun juga, relik adalah merupakan sisa jasmani orang yang telah banyak melaksanakan Dhamma serta melatih meditasi.


Apakah ada pantangan khusus untuk memilikinya?
Karena seorang umat Buddha bila melaksanakan Buddha Dhamma adalah bertujuan untuk mengurangi kemelekatan, maka tentu saja, dengan memiliki relik tidak ada pantangan khusus untuknya. Namun, mengembangkan prilaku yang baik dan sesuai Buddha Dhamma melalui ucapan, perbuatan dan pikiran jelas harus selalu dilaksanakan baik seseorang memiliki relik ataupun tidak.


Katanya relik itu benda suci, jadi tempat dimana relik berada 10an meter sekelilingnya tidak akan terdapat makhluk yang berniat jahat, apakah betul?
Belum pernah ada bukti konkrit tentang hal ini, mungkin hal ini adalah merupakan kepercayaan semata. Karena, kalau memang kebenaran seperti yang ditanyakan tersebut, tentu si pemilik relik sudah tidak akan pernah memiliki pikiran jahat lagi setelah dekat dengan reliknya. Padahal, dalam kenyataannya, pemilik relik masih bisa berpikir, berucap dan bertindak yang tidak baik walaupun membawa relik itu sebagai mata kalung, misalnya.


Apakah yang perlu diketahui umat tentang relik, Bhante?
Relik adalah sisa jasmani orang yang telah melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, karena tidak semua orang yang meninggal dapat menghasilkan relik. Dengan demikian, apabila kita mendapatkan relik, jadikanlah relik itu sebagai lambang pembangkit semangat kita untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Buddha Dhamma. Sehingga, pada saat kita meninggal nanti, dan kemudian jasad kita di kremasikan, akan muncul relik sebagai sisa jasmani kita. Dengan demikian, memiliki relik akan menjadikan perilaku kita lebih baik dalam ucapan, perbuatan dan pikiran kita.

Jangan meminta-minta apapun juga kepada relik, karena hal itu justru akan menjadikan relik sebagai berhala. Relik tidak akan memberikan kebahagiaan maupun penderitaan untuk kita, namun, semuanya itu tergantung pada buah karma atau usaha kita masing-masing.